“Sebentar lagi minumannya habis,”
bocah berkaus lusuh itu membatin. Matanya tak sedikitpun berpaling dari
pemuda berambut acak-acakan yang memegang gelas Aqua. Isinya tinggal
separuh. Bocah itu menggosok-gosokkan kedua kakinya yang sedari tadi
menginjak tribun taman kota Baturaja. Sandal bukanlah hal yang ia
pikirkan. Hanya dingin, namun itu sudah biasa pula baginya. Pikiran itu
hanya hinggap sejenak sebelum musnah dari benaknya.
Sebenarnya ia ingin segera pulang, tapi tanggung. Karungnya tidak penuh malam ini, padahal karung penuh saja cuma dihargai tiga ribu rupiah. Mau tak mau ia harus mendapatkan gelas bekas itu, meskipun hanya satu. Seandainya saat itu malam Minggu, ia bisa mengumpulkan tiga kali lipat lebih banyak. Sayang malam Minggu hanya ada tujuh hari sekali. Bocah itu menghela napas, ekor matanya kembali mencuri pandang.
******
Sebenarnya ia ingin segera pulang, tapi tanggung. Karungnya tidak penuh malam ini, padahal karung penuh saja cuma dihargai tiga ribu rupiah. Mau tak mau ia harus mendapatkan gelas bekas itu, meskipun hanya satu. Seandainya saat itu malam Minggu, ia bisa mengumpulkan tiga kali lipat lebih banyak. Sayang malam Minggu hanya ada tujuh hari sekali. Bocah itu menghela napas, ekor matanya kembali mencuri pandang.
Isinya tinggal seperempat.
Si
bocah menguap. Kantuk sedari tadi menderanya. Ia mati-matian
membelalakkan mata. Ia tak tahu sekarang jam berapa, mungkin lebih malam
dari yang disangkanya. Jam 11? Jam 12? Ah, mana kenal ia dengan waktu.
Satu-satunya penunjuk waktu di rumahnya adalah arloji murahan kesayangan ayahnya, hasil nemu
enam bulan lalu, yang selalu ia bawa kemana-mana. Jangan harap bisa
meminjam benda tersebut, kecuali kalau memang ingin diludahi oleh
ayahnya.
Kalau
ia tidur, meskipun cuma tidur-tidur ayam, ia takut hasil pulungannya
diambil orang. Di dunia yang penuh kecurangan ini, pemulung pun harus
menyesuaikan diri. Ikut-ikutan curang. Adu mulut dengan pemulung lain
sudah menjadi santapan sehari-harinya. Kadang malah dia yang mengambil
hasil pulungan orang lain. Ambil segelas dua gelas, sebotol dua botol,
kalau bisa lebih, ya, bagus.
Kosongnya jalanan membuat ia sadar kalau saat itu memang sudah larut malam.
Ya,
dua anak manusia duduk di tribun taman yang merupakan pusat kota kecil.
Dua-duanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing, meskipun
menyadari kehadiran satu sama lain. Dua-duanya tampak tak ingin beranjak
dari tempat itu. Dua-duanya saling menunggu.
Detik
demi detik habis dalam lamunan semata. Sampai akhirnya si pemuda
menyerah. Ia melemparkan gelas plastik yang masih terisi seperempat itu,
lalu berbaring beralaskan lantai dingin, berselimut langit hitam.
Bocah
itu, dengan senyum lega di wajah, memanggul karung di sampingnya,
kemudian berlari mengambil gelas bekas yang dilemparkan si pemuda. Ia
melangkah pulang, meninggalkan pemuda yang diam-diam mengawasi
punggungnya di bawah sinar bulan.
******
Nama
pemuda itu Davi. Usianya baru delapan belas tahun. Terlahir sebagai
anak bungsu dengan dua orang kakak yang jauh lebih tua darinya membuat
ia menerima kasih sayang berlebih. Seperti kebanyakan anak bungsu,
sedikit demi sedikit sifat manja menjadi karakter utamanya. Apapun yang
ia inginkan harus terpenuhi, tidak bisa lain. Sikapnya itu menjengkelkan
dan hanya beberapa orang saja yang tahan menghadapinya.
Sifat
manja itu menuai masalah beberapa hari ini. Ia bertengkar dengan sang
ayah karena Beliau tak mau membelikannya motor baru. Ayahnya rupanya
memutuskan untuk ‘mendewasakan’ Davi. Namun ia terlambat. Putra
bungsunya sudah terlalu angkuh untuk dikecewakan oleh siapapun. Setelah
debat penuh amarah, Davi memutuskan kabur dari rumah. Seperti cerita
sinetron.
Seharian
ia berada di kosan temannya, tapi ketika jam sudah menunjukkan pukul
sepuluh malam, ia pamit pulang. Ia tak mau temannya tahu perihal kabur
ini. Meskipun Davi merasa perbuatannya ini sudah benar—agar ayahnya
menyesal dan memintanya pulang—tapi ia cukup besar untuk mengakui kalau
perbuatannya itu kekanak-kanakkan. Seandainya ia menceritakan hal
tersebut kepada temannya, ia akan berakhir dengan ditertawakan
habis-habisan. Kabur?
Mau kabur kemana, Baturaja kota kecil kayak gini? Ini bukan Jakarta! Dicari setengah jam aja pasti sudah ketemu! Emang kamu siapa sok-sok kabur segala? Davi membayangkan jika temannya tahu. Ia tak mau kelihatan konyol.
Saat
melewati taman kota, ia memutuskan untuk membeli seporsi mi tek-tek. Ia
kelaparan karena sejak siang belum makan. Setelah makan ia duduk di
tribun. Taman kota sudah sepi, mungkin karena hari itu hari Rabu, bukan
Sabtu atau Minggu. Ia hanya mendapati beberapa penjual mi tek-tek di
sana, itu pun sudah beres-beres.
Ia melamun.
Malam
ini akan menjadi malam pertamanya tidak tidur di kamar. Malam ini akan
menjadi malam pertamanya tidak menonton tv. Malam ini kehidupan ‘keras’
baru saja ia mulai.
Sampai kapan ia mau kabur? Davi tidak tahu. Mungkin dua-tiga hari? Ia sengaja mematikan handphone-nya
jadi sang ibu yang pencemas takkan bisa menghubunginya. Mungkin besok
ia akan mengaktifkannya, membiarkan ibunya menelepon, sambil
berpura-pura menanggapi dengan dingin.
Itu, sebuah skenario paling konyol dan kekanakkan di muka bumi.
Tapi
semuanya sudah terlanjur. Ia tak bisa menarik kemarahannya, apalagi
kemarahan ayahnya. Biasanya ayahnya tidak begitu, biasanya ayahnya
memberikan apapun yang ia mau detik itu juga. Mereka tidak pernah
bertengkar. Ini pertama kalinya sekaligus pertengkaran terbesar yang
pernah terjadi di bawah atap rumah keluarganya. Namun mereka berdua
terlalu serupa, terlalu keras kepala untuk bisa ditenangkan.
Api
kemarahan terhadap sang ayah memercik lagi. Kalau saja ayahnya bersikap
seperti biasa, maka kejadian ini tak perlu ada. Ia tak harus berada di
tribun taman malam-malam begini, sendirian.
Tidak benar-benar sendirian.
Ia
mendapati seorang bocah berbaju lusuh duduk agak jauh darinya, di anak
tangga terbawah, sementara ia sendiri duduk di anak tangga kedua
teratas. Di samping bocah itu tergeletak sebuah karung tipis berisi
gelas bekas. Pasti pemulung.
Apa
rasanya jadi pemulung? Tiba-tiba pertanyaan itu melintas di benak Davi.
Kenapa bocah itu belum pulang? Apa saja yang dikerjakannya seharian?
Siapa orangtuanya? Apa pekerjaan mereka? Diam-diam ia memandangi bocah
itu. Dilihatnya bocah itu menguap. Kenapa ia belum pulang ke rumah?
Ah,
tak ada gunanya mengurus hidup orang lain. Hidupnya sendiri sedang
bermasalah. Davi memutuskan untuk mengabaikan bocah itu dan sibuk dalam
pikirannya sendiri. Untungnya ia selalu memakai jaket kemana-mana
sehingga ia dingin malam tak begitu menusuknya. Pemuda itu
mengerjap-ngerjapkan mata. Ia harus tidur.
Tapi dimana?
Ia
tak punya rumah sekarang—sementara ini, paling tidak. Ia memang punya
uang, beberapa lembar dua puluh dan sepuluh ribuan, tapi ia tak yakin
uang itu cukup untuk menyewa kamar penginapan atau hotel. Kalau mau ke
rumah temannya, ia tak punya kendaraan. Lagipula rumah temannya
rata-rata jauh, yang terdekat adalah rumah teman tempatnya berada sejak
tadi siang, dan ia tak mau kembali ke sana, siapa tahu ayahnya sudah
mencari ke sana.
Davi
berdecak, melemparkan gelas minumannya sembarangan, lalu berbaring. Tak
ada pilihan lain, ia harus tidur di sana malam ini, sebagai
gelandangan. Ia bersumpah ayahnya harus membayar semua ini.
Dari
sudut mata ia melihat bocah pemulung itu berlari mengejar gelas
bekasnya, lalu memasukkannya ke karung yang dipanggulnya. Davi
mengernyit. Ternyata, bocah itu menunggunya! Kenapa ia tidak bilang
kalau mau memulung gelas itu? Kan ia bisa memberikannya dari tadi.
Bocah aneh,
pikirnya dalam hati seraya memandangi kepergian anak itu. Begitu
berartikah sebuah gelas bekas? Sebuah saja tidak akan ada harganya, kan?
Pemuda itu mengendikkan bahu, lalu berguling ke samping. Ia mencoba tidur. Membayangkan kasur yang empuk…
membayangkan kamar yang hangat…
bayangkan, bayangkan…
- See more at: http://www.beritanda.com/seni-dan-sastra/cerpen/12230-cerpen-pemulung.html#sthash.1pqBgi9p.dpuf