Rabu, 22 Januari 2014

Sebentar lagi minumannya habis, bocah berkaus lusuh itu membatin. Matanya tak sedikitpun berpaling dari pemuda berambut acak-acakan yang memegang gelas Aqua. Isinya tinggal separuh. Bocah itu menggosok-gosokkan kedua kakinya yang sedari tadi menginjak tribun taman kota Baturaja. Sandal bukanlah hal yang ia pikirkan. Hanya dingin, namun itu sudah biasa pula baginya. Pikiran itu hanya hinggap sejenak sebelum musnah dari benaknya.
Sebenarnya ia ingin segera pulang, tapi tanggung. Karungnya tidak penuh malam ini, padahal karung penuh saja cuma dihargai tiga ribu rupiah. Mau tak mau ia harus mendapatkan gelas bekas itu, meskipun hanya satu. Seandainya saat itu malam Minggu, ia bisa mengumpulkan tiga kali lipat lebih banyak. Sayang malam Minggu hanya ada tujuh hari sekali. Bocah itu menghela napas, ekor matanya kembali mencuri pandang.
Isinya tinggal seperempat.
Si bocah menguap. Kantuk sedari tadi menderanya. Ia mati-matian membelalakkan mata. Ia tak tahu sekarang jam berapa, mungkin lebih malam dari yang disangkanya. Jam 11? Jam 12? Ah, mana kenal ia dengan waktu. Satu-satunya penunjuk waktu di rumahnya adalah arloji murahan kesayangan ayahnya, hasil nemu enam bulan lalu, yang selalu ia bawa kemana-mana. Jangan harap bisa meminjam benda tersebut, kecuali kalau memang ingin diludahi oleh ayahnya.
Kalau ia tidur, meskipun cuma tidur-tidur ayam, ia takut hasil pulungannya diambil orang. Di dunia yang penuh kecurangan ini, pemulung pun harus menyesuaikan diri. Ikut-ikutan curang. Adu mulut dengan pemulung lain sudah menjadi santapan sehari-harinya. Kadang malah dia yang mengambil hasil pulungan orang lain. Ambil segelas dua gelas, sebotol dua botol, kalau bisa lebih, ya, bagus.
Kosongnya jalanan membuat ia sadar kalau saat itu memang sudah larut malam.
Ya, dua anak manusia duduk di tribun taman yang merupakan pusat kota kecil. Dua-duanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing, meskipun menyadari kehadiran satu sama lain. Dua-duanya tampak tak ingin beranjak dari tempat itu. Dua-duanya saling menunggu.
Detik demi detik habis dalam lamunan semata. Sampai akhirnya si pemuda menyerah. Ia melemparkan gelas plastik yang masih terisi seperempat itu, lalu berbaring beralaskan lantai dingin, berselimut langit hitam.
Bocah itu, dengan senyum lega di wajah, memanggul karung di sampingnya, kemudian berlari mengambil gelas bekas yang dilemparkan si pemuda. Ia melangkah pulang, meninggalkan pemuda yang diam-diam mengawasi punggungnya di bawah sinar bulan.

******
Nama pemuda itu Davi. Usianya baru delapan belas tahun. Terlahir sebagai anak bungsu dengan dua orang kakak yang jauh lebih tua darinya membuat ia menerima kasih sayang berlebih. Seperti kebanyakan anak bungsu, sedikit demi sedikit sifat manja menjadi karakter utamanya. Apapun yang ia inginkan harus terpenuhi, tidak bisa lain. Sikapnya itu menjengkelkan dan hanya beberapa orang saja yang tahan menghadapinya.
Sifat manja itu menuai masalah beberapa hari ini. Ia bertengkar dengan sang ayah karena Beliau tak mau membelikannya motor baru. Ayahnya rupanya memutuskan untuk ‘mendewasakan’ Davi. Namun ia terlambat. Putra bungsunya sudah terlalu angkuh untuk dikecewakan oleh siapapun. Setelah debat penuh amarah, Davi memutuskan kabur dari rumah. Seperti cerita sinetron.
Seharian ia berada di kosan temannya, tapi ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ia pamit pulang. Ia tak mau temannya tahu perihal kabur ini. Meskipun Davi merasa perbuatannya ini sudah benar—agar ayahnya menyesal dan memintanya pulang—tapi ia cukup besar untuk mengakui kalau perbuatannya itu kekanak-kanakkan. Seandainya ia menceritakan hal tersebut kepada temannya, ia akan berakhir dengan ditertawakan habis-habisan. Kabur?
Mau kabur kemana, Baturaja kota kecil kayak gini? Ini bukan Jakarta! Dicari setengah jam aja pasti sudah ketemu! Emang kamu siapa sok-sok kabur segala? Davi membayangkan jika temannya tahu. Ia tak mau kelihatan konyol.
Saat melewati taman kota, ia memutuskan untuk membeli seporsi mi tek-tek. Ia kelaparan karena sejak siang belum makan. Setelah makan ia duduk di tribun. Taman kota sudah sepi, mungkin karena hari itu hari Rabu, bukan Sabtu atau Minggu. Ia hanya mendapati beberapa penjual mi tek-tek di sana, itu pun sudah beres-beres.
Ia melamun.
Malam ini akan menjadi malam pertamanya tidak tidur di kamar. Malam ini akan menjadi malam pertamanya tidak menonton tv. Malam ini kehidupan ‘keras’ baru saja ia mulai.
Sampai kapan ia mau kabur? Davi tidak tahu. Mungkin dua-tiga hari? Ia sengaja mematikan handphone-nya jadi sang ibu yang pencemas takkan bisa menghubunginya. Mungkin besok ia akan mengaktifkannya, membiarkan ibunya menelepon, sambil berpura-pura menanggapi dengan dingin.
Itu, sebuah skenario paling konyol dan kekanakkan di muka bumi.
Tapi semuanya sudah terlanjur. Ia tak bisa menarik kemarahannya, apalagi kemarahan ayahnya. Biasanya ayahnya tidak begitu, biasanya ayahnya memberikan apapun yang ia mau detik itu juga. Mereka tidak pernah bertengkar. Ini pertama kalinya sekaligus pertengkaran terbesar yang pernah terjadi di bawah atap rumah keluarganya. Namun mereka berdua terlalu serupa, terlalu keras kepala untuk bisa ditenangkan.
Api kemarahan terhadap sang ayah memercik lagi. Kalau saja ayahnya bersikap seperti biasa, maka kejadian ini tak perlu ada. Ia tak harus berada di tribun taman malam-malam begini, sendirian.
Tidak benar-benar sendirian.
Ia mendapati seorang bocah berbaju lusuh duduk agak jauh darinya, di anak tangga terbawah, sementara ia sendiri duduk di anak tangga kedua teratas. Di samping bocah itu tergeletak sebuah karung tipis berisi gelas bekas. Pasti pemulung.
Apa rasanya jadi pemulung? Tiba-tiba pertanyaan itu melintas di benak Davi. Kenapa bocah itu belum pulang? Apa saja yang dikerjakannya seharian? Siapa orangtuanya? Apa pekerjaan mereka? Diam-diam ia memandangi bocah itu. Dilihatnya bocah itu menguap. Kenapa ia belum pulang ke rumah?
Ah, tak ada gunanya mengurus hidup orang lain. Hidupnya sendiri sedang bermasalah. Davi memutuskan untuk mengabaikan bocah itu dan sibuk dalam pikirannya sendiri. Untungnya ia selalu memakai jaket kemana-mana sehingga ia dingin malam tak begitu menusuknya. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan mata. Ia harus tidur.
Tapi dimana?
Ia tak punya rumah sekarang—sementara ini, paling tidak. Ia memang punya uang, beberapa lembar dua puluh dan sepuluh ribuan, tapi ia tak yakin uang itu cukup untuk menyewa kamar penginapan atau hotel. Kalau mau ke rumah temannya, ia tak punya kendaraan. Lagipula rumah temannya rata-rata jauh, yang terdekat adalah rumah teman tempatnya berada sejak tadi siang, dan ia tak mau kembali ke sana, siapa tahu ayahnya sudah mencari ke sana.
Davi berdecak, melemparkan gelas minumannya sembarangan, lalu berbaring. Tak ada pilihan lain, ia harus tidur di sana malam ini, sebagai gelandangan. Ia bersumpah ayahnya harus membayar semua ini.
Dari sudut mata ia melihat bocah pemulung itu berlari mengejar gelas bekasnya, lalu memasukkannya ke karung yang dipanggulnya. Davi mengernyit. Ternyata, bocah itu menunggunya! Kenapa ia tidak bilang kalau mau memulung gelas itu? Kan ia bisa memberikannya dari tadi.
Bocah aneh, pikirnya dalam hati seraya memandangi kepergian anak itu. Begitu berartikah sebuah gelas bekas? Sebuah saja tidak akan ada harganya, kan?
Pemuda itu mengendikkan bahu, lalu berguling ke samping. Ia mencoba tidur. Membayangkan kasur yang empuk…
membayangkan kamar yang hangat…
bayangkan, bayangkan…
- See more at: http://www.beritanda.com/seni-dan-sastra/cerpen/12230-cerpen-pemulung.html#sthash.1pqBgi9p.dpuf